Laman

Kamis, 25 November 2010

Dalam Dekapan Ukhuwah : Aku Bertutur.

Bulan semakin merangkak ke bukit, tutur malam semakin ramai menghias gulita. Sedangkan aku ! Hmmm…Disini, tertatih tatih dalam letih. 10 jam, waktu yang harus ku tempuh meniti perjalanan panjang dari tempatku mengais rezeki sebagai Abdi Negara, jauh di seberang sungai Mahakam, melewati jalan berkelok diantara berhektar-hektar hutan dan pohon sawit, melintasi jalanan berlubang karena terlalu sering di lintasi Truck-Truck tambang. Berharapa lampu-lampu kota segera menyambutku. Kalau bukan karena rindu Ibu, mudah saja kutahan rinduku. Kalau bukan karena senyum ayah, sudah ku pilih menunda kepulanganku.
Pukul 22.00 waktu Indonesia bagian tengah. Akhirnya sampai juga. Letih yang tertatih ini terbayar dengan senyum dan pelukan hangat dari seisi rumah. Senang bisa menikmati suasana rumah lagi, setelah 2 bulan lebih Pekerjaanku membentengi kebersamaan kami. Kamarku tidak berubah, seprainya juga masih sama, bantalnya juga masih dua, heee….tapi…Upssss…ada yang menarik perhatianku di atas meja. Sebuah buku tergeletak, dengan cover warna hitam bertuliskan : Dalam dekapan Ukhuwah, Sallim A. Fillah. Huuaaaaaaaa….buku yang sangat sulit ku temukan di seberang mahakam sana. Ngantukku berbinar, mualku segar, letihku menggantung di Plafon kamar, saking senangnya. Tidak ku siakan waktu, besok saja ku cari tau, siapa si empunya buku ini. Bibirku tersungging senyum melahap kata, diksi, dan aksara Salim A. Fillah, luar biasa. Diantaranya bayang-bayang muncul dari terali purba.
***
Berkilaulah dalam dekapan Ukhuwah…Bab Pertama Kubuka.
Kampus Hijau. Di mulai dari sini aku ingin bertutur. Sebenarnya ini Rindu, Rindu yang membawaku kembali pada bayang-bayang yang merangkulku dalam dekapan ukhuwah.
Kampus hijau, seperti rumah kedua bagiku. Jadwal Kuliah Politeknik dengan system paket menyedot hampir 6 jam waktuku dalam sehari, dengan seabrek jadwal kuliah, praktikum, job training, sampai small project. meskipun awalnya dengan setengah hati aku melegalkan diri di kampus ini. Tapi, Allah lah penulis sekenario hidup terbaik, jika kita mau memahaminya, lebih dalam lagi. Allah tidak menjanjikan langit selalu biru, ada badai yang merisaukan hati, tapi jika kita mau mencoba lebih bersabar, Allah telah menyiapkan pelangi di ujung badai. Dan Di kampus hijau ini, aku menemukan Pelangiku. Dalam satu wadah, bukan wadah orang-orang baik berkumpul, tapi wadah orang-orang yang ingin baik berkumpul. “Pusat Studi Islam Mahasiswa”.
“De, sudah makan belum? Entar Maghnya kambuh Loh” Pertanyaan yang tak jarang kudengar dari Mba-Mba Sholehah yang sering menjadi inspirasiku.
Ukhti, Jam 9, Di Mesjid, Qta Dhuha Bareng. Oke. Pesan singkat dari Salah satu saudari. Di kampus ini, kami berasal dari berbagai jurusan, tapi ada satu tempat yang menyatukan kami, Mesjid.
“Mba, Pengen Curhat, Ba’da Dzuhur di bawah pohon ketapang ya” Senyum sumringah terlukis manis dalam balutan jilbab merah muda. Ade tingkatku, calon ahli analis kimia muslim masa depan.
Ya Allah..Syukur tak terhingga, engkau himpunkan hamba bersama mereka dalam Persaudaraan ini. Mereka telah mengisi ruang-ruang kosong dalam hati hamba, Ruang yang telah hamba rancang khusus untuk orang-orang yang hamba sayangi.
Ambil Cintamu di langit, Tebarkan di Bumi…..
Semakin ke sini, cinta itu semakin berkilauan dalam dekapan ukhuwah. Sehingga sayang, jika cinta itu hanya ada di Langit, kami coba memetiknya dan menebarkannya di Bumi. Persaudaraan ini bukan karena ikatan darah apalagi kepentingan Materi, tapi persaudaraan ini karena-Mu, Duhai Pengasih.
Betapa Persaudaraan ini begitu nikmat. Tawanya, menjadi mimpi-mimpi yang senantiasa di rindukan, tawa yang menjelma cinta, cinta yang di bagi kepada makhluk di seluruh penjuru bumi. Cinta-Nya.
Sedihnya, menjadi elok. Karena kadang, mimpi tak datang tepat di hadapan. Selalu ada luka dalam perjuangan. Itu biasa. Perjuangan tak akan indah tanpa tantangan. Bergeraklah walau berat.
Kecewanya, menjadi Nikmat yang tersirat dari-Nya. Karena Aku, dia, dan mereka hanya manusia biasa. Seharusnya, satu kesalahan tidak menghapus sejuta kebaikan yang lalu.
Sengketanya, menjadi Pembelajaran sarat ilmu. Untuk kemudian kita kan kembali mendaki walau tertatih, hingga di puncak segala hubungan, yakni, taqwa.
Lelahnya, menjadi Nikmat yang tak tergambarkan. Karena lelah ini tidak untuk jalan-jalan di Mall, tidak untuk Nonton TV berjam-jam, tidak untuk hari yang tersia-siakan, tapi lelah ini, melahirkan peluh kebaikan,
Masih banyak Pernak-pernik perjuangan yang lain, tapi satu hal, tebarkan cinta di Bumi, meski kaki harus terseok-seok.
Tanah Gersang…
Perjuangan menebarkan cinta di Bumi, memang tidak mudah dan ringan, tapi Persaudaraan ini, dapat menjadi air yang perlahan menetesi tanah gersang. Seperti salah satu kisahku dalam persaudaraan ini.
“Koordinsinya kita Pending.” Jawaban singkat sekaligus penutup dari penjelasan panjang perihal keterlambatanku, meluncur dari Sang ketua yang memimpin kami dalam wadah ini . Fhuh…tak ada niat terlambat koordinasi, sungguh. Kalau saja barang itu tidak lenyap dari tas favoritku.
Bencana, Handphoneku lenyap, menghilang, dari tas yang selalu aku bawa kemana-mana, entah jatuh, tercecer atau…Huuuuu…sedih. Betapa gersangnya tak punya Handphone. Telat informasi, menghambat komunikasi. Mulai dari terlewatnya informasi kuliah yang lebih sering lewat sms, koordinasi, Pesan Nasehat yang seharusnya ku kirim paling tidak seminggu sekali, Curahan isi hati, sampai hak saudari-saudariku, semuanya terabaikan. Apalagi Amanah membawahi Para Putri dalam wadah ini, mengharuskanku selalu berkomunikasi dengan mereka.
Ya Allah…Hanya kepada-Mu, tempat terindah untuk mengadu, lelah.
“Membangkitkan kembali kekuatan ummat itu, di mulai dari sini ukhti” Ucapan seorang Ukhti, sambil menunjuk ke dada. “Di mulai dari Diri sendiri” Lanjutnya lagi. “Biarkan kelelahan itu lelah mengejar kita”.
Bata demi Bata, Menara Cahaya…Sebenarnya pada Bab ini, Mataku nyaris lelah, tapi nikmatnya membaca dan bayang-bayang ini, mendominasi kantuk dan lelahku.
Kejaayaan Islam itu Pasti, meskipun Ujungnya belum tampak. Paling tidak, kita menjadi salah satu Batu Bata Penyusun Menara Cahaya. Meskipun tanpa Handphone Pastinya. Dan kami berusaha menjadi bata-bata itu. Berharap Cahayanya tak redup karena ada prajurit-prajurit yang senantiasa menghiasnya.
Membangun Menara, tak kan mampu di emban satu dua tangan. Kita butuh bermilyar tangan, karena itu teruslah menyiapkan bata-bata penyusun. Tapi sendiri akan terasa berat, keberadaan saudara di samping, akan semakin menguatkan.
“Kalau anti butuh untuk komunikasi, pake aja HP ana. Gratisss” Tangan itu menjulur ke arahku, tak ketinggalan senyum khasnya. Dia merelakan Handphonenya aku pakai bergantian dengannya, karena dia juga butuh alat komunikasi itu. Tak hanya satu saudari yang menawarkan. Subahanallah...HPku Hilang hanya satu, tapi Allah menggantinya Lebih dari satu. Alhamdulillah..Meskipun hanya dengan meminjam, sangat membantu komunikasiku.
Maunya segera ke counter untuk membeli Handphone baru, tapi meminta pada Ayah, sama saja membuat beban lelaki yang ku kasihi itu, aku tidak mau.
Sebening Prasangka…
Berbaik sangkalah pada Manusia, terlebih-lebih pada Allah. Karena Syetan sering menjelma dalam Prasangka-Prasangka. Ukhuwah itu tak lepas dari Prasangka. Adakalanya bibir tersenyum indah, tapi Hati berkawan cela.
Syukur Pada Allah, mentakdirkanku lahir dalam keluarga besar. Kami enam bersaudara, aku bungsu. Satu kakak tercantik dan empat ksatria aku miliki. Sebenarnnya merekalah yang pertama menyeret dan mendorongku merasakan ini semua. Karena itu, kepada mereka, ku kirimkan permintaanku. Dana, untuk membeli Handphone. Heeee..dayung bersambut, kurang dari sebulan rekeningku terisi dana yang meski tak seberapa tapi sangat bermakna. Love and Miss you My Sist’ Bro…
Hari itu, sedang sibuk-sibuknya kami menggelar “Bank Jilbab” Proker para Putri. Ada perasaan lain, melihat wajah-wajah baru dengan penampilan baru, Anggun dengan Kerudung yang tersemat indah di kepala. Otomatis, perhatian kami terkuras. Meskipun Handphone belum sempat ku beli, aku masih bisa menggunakan Handphone Salah seorang Saudari yang hari ini mengikhlaskah Handphonenya untuk ku gunakan, karena banyak yang harus kuhubungi. Terimakasih kawan…
Dan Prasangka itu, belajar di kendalikan disini.
“Ukhti, Boleh ana ambil Handphone ana lagi. Ana mau telfon ke Rumah, mau izin pulang terlambat” Ucapnya sambil membereskan perlengkapan Acara yang sudah usai. Astagfirullah....Aku baru sadar, Tanganku kosong. Seingatku, sedari tadi Handphone itu selalu ku genggam di tangan. Ya Rabbi…Wajahku pasi menelusuri tempat-tempat yang tadi ku lewati di temani yang lain. Nihil..Sampai senja, tak juga nampak fisik bahkan signalnya.
“Kalau tercecer, Handphonenya pasti masih aktif. Pasti akan ketemu, kecuali kalau ada yang ……..” seorang ukhti menyampaikan pendapatnya di tengah diam kami, tanpa melanjutkan ucapannya. Semua berfikir, bisa jadi. Tapi menghindari Desahan syetan lebih baik, dari pada Prasangka itu semakin menjadi.
Handphoneku yang hilang saja, belum terganti, dan sekarang aku menghilangka handphone satu lagi. Ya Allah…Hamba berprasangka baik kepadamu
Selembut Nurani….
Wahai Hati yang berhati Lembut, Di sana Nurani sedang menunggu, dengan senyum termanis itu.
“Afwan ya Ukhti” Hanya itu kata yang mampu keluar dari Mulutku.
“Ia, Gak Papa” kata itu yang keluar dari mulutnya, senyum tak berkurang sedikit pun, persis seperti saat dia mengikhlaskan handphonenya, aku pinjam. Nuraninya begitu lembut, tapi Nuraniku seolah membaca, senyum memang tak berkurang, tapi sedih dan risau menggantung di wajahnya. Satu perasaan yang sama saat aku kehilangan Handphoneku, Gersang.
Hatiku bimbang. Kali ini Nuraniku yang sedang di uji. Tidak mudah mengumpulkan dana ini, ucap hatiku. Aku juga Butuh Handphone, entah dari mana suara itu keluar. Hmmmmm…..kupandangi beberapa pecahan lima puluh ribuan di tanganku.
Dan Malam itu, Nuraniku yang berbicara, tanpa bisa aku mengelak. Di tengah gerimis yang sama sekali gak romantis.
“Anti pake saja HP ini, Afwan ya gak sebagus HP anti yang hilang” Akhirnya.
Yang Ikhlas…Sapa Lembut Nuraniku. Ia…Jawabku datar.
Sehangat Semangat……
Semangat itu seperti setangkai Mawar yang menjelma nyanyian Matahari. Keterbatasan bisa di taklukkan, ketidakberdaan dapat di robohkan dengan Semangat.
Huuuummmm…Ku Hirup nafas dalam-dalam seperti saat menghirup segarnya Oksigen di Pagi hari. Terima Kasih ya Allah, engkau masih menggratiskan Oksigen ini untuk ku hirup. Kembali bersemangat. Salah satunya, bersemangat mengumpulkan kembali pundi-pundi untuk Handphone yang kuinginkan. Upsss...Bukan ku inginkan, tapi yang kubutuhkan. Meskipun sebenarnya aku bingung, karena tak tega rasanya, kembali meminta pada kakak tercantik dan empat ksatriaku. Aku harus berjuang sendiri, meskipun agak lama, tak apalah, toh masih ada saudari-saudariku yang ikhlas meminjamkan Handphonenya untuk ku gunakan.
Ayooooo…. Kembali Semangat….Rasakan Hangatnya, Sehangat nyanyian Matahari di musim semi.
Senikmat Berbagi….Di Bab Ke delapan ini, sesungguhnya mataku sudah mulai kabur, tapi sedikit lagi lah…
Inilah Nikmatnya mendekap dalam dekapan ukhuwah. Disanalah alamat kerinduan sering terucap. Disanalah, Semangkuk gelisah dapat dicairkan di atas tungku perapian. Disanalah, Makna Berbagi menjadi Lirik yang indah, untuk kemudian, mari kita senandungkan bersama-sama. Kampus hijau, tempat kami belajar arti berbagi.
Hari itu, Terik tak lagi menyengat, Angin semilir menerpa wajah, Acara Tabliq Akbar sudah Usai. Saat Beberapa orang menyeretku ke beranda samping, saking terkejutnya, hampir saja aku menubruk seorang wanita yang menggendong seorang bayi. Tapi keterkejutanku segera hilang saat kusadari, ukhti-ukhti manisku yang tadi ku cari yang menyeretku.
“Ke Sini sebentar Ukh” Ucap Mereka.
“Tutup Mata” Ucap Mereka Lagi ramai, seperti sedang bermain Petak umpet, fikirku. Tapi aku mengikuti saja perintah mereka. “Sekarang Buka Mata” Perintah Meraka Lagi tak kalah ramai dari tadi.
Allahu Akbar…Sebuah Handphone Nokia type 2626 di letakkan rapi dalam kota lucu berwana biru. Aku hanya diam, tapi air mata menyampaikan sejuta terimakasihku pada Mereka. Padahal untuk membeli Handphone itu, mungkin saja mereka harus menyisihkan uang jatah makan mereka atau mungkin berhutang.
Sejuta Kesan untuk Handphone ini, terima kasih untuk cinta, motivasi dan persaudaraan ini. Alamat kerinduan ini, ku sampaikan pada kalian yang menyentuh hidupku dengan cara yang luar biasa. Ending dari sekenario Allah yang Sungguh Indah.
Biarkan cinta itu kita petik dilangit untuk kemudian kita tebarkan di bumi, seperti saat menyemai benih padi. Tanah gersang tak akan menghalangi, karena ada air yang senantiasa menetesi, hingga menara cahaya itu tersusun dengan megahnya dan kita menjadi batu batanya, beningkan prasangka, lembutkan nurani, rasakan hangatnya semangat nyanyian matahari dan nikmati indahnya berbagi dalam dekapan ukhwah.
***
Sepertiga Malam akhir malam sudah masuk, kantukku sudah tak bisa lagi di Lobi, 10 jam perjalananku menuntut di beri perhatian, padahal masih ada 2 bab lagi..Hoaaaacchmmm...Besok Pagi saja Kuselesaikan membacanya…
Zzzzz…zzzzz….zzzzz

Special for : Kalian yang membuatku menangis siang itu. Terima Kasih Handphonenya. Kata tak sanggup aku pilih untuk bercerita betapa cintanya aku pada Kalian karena Allah ^-^


Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 dihttp://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

1 komentar:

Zia mengatakan...

Rasanya jadi sangat iri sama njenengan mba...

dikelilingi saudara seiman segitu perhatian sama mba...

terharu... :')