Laman

Minggu, 10 Januari 2010

Diary Kedewasaan


Menengok kemasa kecil dulu. Hidupku hanya berkisar antara buang air, makan, main dan tidur. Semua nyaris di bantu ibu. Tak ada pikiran berat yang harus menggumpal di kepalaku. Emm...sungguh menyenangkan.
Beranjak sedikit dewasa. Aku merasa ada yang berubah pada diriku, seperti halnya obat. Kali ini obat yang di berikan kepadaku terasa lebih lebih pahit.

Ketika aku beranjak sedikit dewasa. Aku mulai bingung memaknai arti kedewasaan, aku mulai memahami bahwa setiap orang harus memiliki jati diri.
Saat aku mulai mencari makna dari kedewasaan. Aku mulai melihat diriku yang lain. Aku mulai ingin di perhatikan, rambutku yang dulu tidak ku perhatikan kini mulai rapi oleh sisir yang tak pernah absen dari tasku dan aku mulai ingin menunjukkan
”Ini Lo Aku”.
Disaat yang sama, aku mulai melihat diriku yang lain. Aku bukan lagi anak kecil yang terus merengek ketika keinginannya tidak di kabulkan atau bertingkah semaunya tanpa peduli kondisi sekeliling. Lalu aku berfikir. Apakah ini yang dinamakan kedewasaan?
Disaat aku terus memaknai arti kedewasaan. Aku mulai memikirkan sulitnya bapak menafkahi kami atau sabarnya ibu menghadapi kenakalan anak-anaknya yang dulu hampir tak pernah terpikirkan olehku. Aku juga mulai melihat hiruk pikuk kehidupan yang rumit. Lebih enak menjadi anak kecil pikirku. Tapi setelah aku pikir Lebih jauh. Ah...bodohnya aku, jika ingin terus berada dalam fase kekanak kanakan.
Suatu hari aku mulai merasakan kegelisahan (Rokku telah berwarna abu abu tingkat 2) saat masalah demi masalah seolah ngantri dalam kehidupanku. Kadang aku hanya bisa berlari menghindar atau pasrah pada pertolongan orang lain. Dan aku rasa, bukan ini yang di namakan kedewasaan. Aku juga mulai merisaukan hidupku, saat aku di hadapkan pada arah hidup yang harus aku pilih. Lagi lagi aku harus mencari.
Pencarian yang panjang memang, tapi itulah hidup. Karena hidup adalah pilihan. Kemana kita harus melabuhkan hati, langkah dan fikir kita.
Usiaku telah mencapai angka 17, angka yang sering di jadikan banyak orang sebagai Patokan kedewasaan. Secara usia bisa di bilang aku telah dewasa, tapi bagaimana dengan fikirku? Karena kedewasaan tidak cukup hanya dipandang dari sudut usia.
Di suatu malam, aku sedang menonton seputar indonesia di televisi.
”Begitulah aksi anggota dewan terhormat di ruang paripurna, baku hantam pun akhirnya tidak bisa terhindari”
Kurang lebih begitulah Rosiana silalahi membacakan berita malam itu. Aku kembali berfikir. Secara usia mereka adalah orang-orang yang dewasa, bahkan sangat dewasa. Tapi tingkah mereka belum pantas di katakan dewasa, karena hanya anak kecil saja yang menyelesaikan permasalah dengan teriakan dan lemparan mainan, karena kedewasaan mampu berfikir untuk menyelesaikan setiap permasalahan tidak dengan kekerasan.
Di hari yang lain ada sepasang kekasih yang akhirnya memutuskan untuk menabrakkan diri mereka yang sedang berpelukan di antara lajunya kereta api, karena orang tua sang wanita tidak menyetujui hubungan mereka. Aku rasa ini juga bukan arti dari kedewasaan, karena kedewasaan akan mampu, membawa arah cinta pada pelabuhan yang sejati.
Karena itu aku terus memburu kedewasaan seiring dengan usiaku yang terus bertambah.
Tanpa sengaja aku bertemu dengan seorang calon ibu muda saat aku dan teman-taman mengadakan kunjungan amal di sebuah panti asuhan. Usianya baru 17 tahun, Wajahnya manis dengan balutan jilbab yang melilit di lehernya, badannya tinggi langsing, sebentuk senyum selalu menghiasi bibir indahnya, yang setelah beberapa menit percakapan kami, baru aku ketahui bahwa baru satu pekan, ia mulai memakai jilbab menutup auratnya. Dan yang membuat aku sedikit terlonjak adalah bayi yang di kandungnya adalah hasil perkosaan, tapi tetap ia sayangi. Aku agak Tercengang mendengar kisah sahabat baruku itu. Kurang lebih 4 bulan waktu yang ia butuhkan untuk kembali bangkit dari trauma di perkosa lebih dari 1 orang. Tapi di sinilah aku melihat kedewasaan.
Dia mampu bangkit di tengah masalah terberatnya, dia tidak ingin membuang waktu lebih lama untuk terus menangisi takdir buruk dalam satu episode hidupnya karena dia harus menyelesaikan episode-episode lain yang harus dia jalani. Dan mengisi penantian kelahiran bayinya dengan menjadi relawan di panti asuhan khusus menjaga balita. Ketika ku tanya kenapa dia mau menjadi relawan? Dia menjawab, dia hanya ingin belajar menjadi seorang ibu, karena ia merasa terlalu muda saat nanti menjadi seorang ibu, agar ia mampu menjadi ibu yang baik ketika bayinya lahir.
Setelah setahun sejak pertemuan kami barulah aku tahu, bahwa ia tetap menangis merasa kehilangan saat bayi yang ia kandung, Allah takdirkan untuk tidak melihat dunia. Inilah cinta seorang ibu pada anaknya walau ia sangat benci pada orang yang telah secara paksa menanam benih di rahimnya.
Inilah pelajaran kedewaasaan yang aku dapatkan. Mampu bijak menghadapi permasalahan seberat apapun dan mampu menghadirkan nuansa lain dalam setiap permasalahan, sehingga setiap permasalahan mampu berakhir happy ending, apapun akhirnya.
Dewasa memandang masalah, bahwa hidup adalah tempat masalah, tapi bagaimana cara kita memandang setiap masalah.
Dewasa memandang hidup, bahwa hidup bukan hanya tempat bersenang senang dan berleha leha tapi ada makna tanggung jawab dalam setiap episodenya.
Dewasa memandang kematian, bahwa kita harus bersiap-siap karena kita tidak pernah tau kapan malaikat izrail akan datang menjemput.
Dewasa memandang cinta, Bahwa cinta mampu melihat mana yang baik dan mana yang buruk dan mampu menempatkan cinta pada fitrah yang sebenarnya.
Dewasa memandang kedewasaan, bahwa kedewasaan adalah proses pembelajaran. Pembelajaran untuk menjadi seseorang yang lebih baik dan memiliki jati diri.
Dewasa memandang Diri, bahwa diri ini adalah hamba yang selalu terlihat dan akan kembali pada-Nya.
-Aku adalah aku-
Dimanapun aku melangkah
Itualah aku
Apa dan siapapun di sekelilingku
Aku adalalh aku
Menjadi apapun diriku
Aku adalah aku
Aku bukan dia atau mereka
Aku hanya seorang hamba yang selalu terlihat oleh-Nya
Dan kepada-Nya aku akan kembali.
Samarinda, 14 Maret 2009
(Piet_han)


Tidak ada komentar: